4 April 2011

penyelesaian-sengketa-wakaf

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian maka keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan menempati ranking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan.
Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi yang demikian ini tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi suatu masalah yang sangat urgen dan sangat rentan. Munculnya penyimpangan pada pengelolaan wakaf akan menjadikan suatu masalah serius dalam dinamika kehidupan beragama di negara Indonesia apabila penyelesaian atas masalah tersebut tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan peraturan perundang-undanganyangberlaku.
Bertitik tolak dari uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas, penulis berminat untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai penyelesaian masalah yang timbul dalam pengelolaan wakaf ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Wakaf”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah:
1. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya sengketa wakaf ?
2. Bagaimanakah cara penyelesaiannya dalam hal terjadi sengketa wakaf ?



BAB II
PEMBAHASAN

1. Sebab-sebab terjadinya sengketa wakaf
Sebelum membahas tentang sebab-sebab terjadinya sengketa wakaf, terlebih dahulu akan disampaikanmengenaipengertiandanpengaturanwakafdiIndonesia.
Wakaf dalam perspektif fikih didefinisikan sebagai perbuatan hukum menahan benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan bendanya untuk digunakan di jalan kebaikan. Hak milik berupa materi yang telah diwakafkan dianggap sebagai milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan tujuan wakaf. Sementara itu, menurut Abu Yusuf sebagaimana yang dikutip oleh Imbang J. Mangkuto, wakaf adalah melepaskan kepemilikan individu atas suatu harta (properti), menyerahkannya secara permanen kepada Allah SWT, dan mendedikasikanmanfaatnyauntukoranglain.
Hal pokok yang sering menimbulkan permasalahan perwakafan dalam praktik adalah masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf. Pelaksanaan wakaf yang terjadi di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara agamis atau mendasarkan pada rasa saling percaya. Kondisi ini pada akhirnya menjadikan tanah yang diwakafkan tidak memiliki dasar hukum, sehingga apabila dikemudian hari terjadi permasalahan mengenai kepemilikan tanah wakaf penyelesaiannya akan menemui kesulitan, khususnya dalam hal pembuktian.
Hal lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam praktik wakaf di Indonesia adalah dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir yang penggunaannya menyimpang dari akad wakaf.
Dalam praktik sering didengar dan dilihat adanya tanah wakaf yang diminta kembali oleh ahli waris wakif setelah wakif tersebut meninggal dunia. Kondisi ini pada dasarnya bukanlah masalah yang serius, karena apabila mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan, wakaf dapat dilakukan untuk waktu tertentu, sehingga apabila waktu yang ditentukan telah terlampaui, wakaf dikembalikan lagi kepada ahli waris wakif. Namun khusus untuk wakaf tanah, ketentuan pembuatan akta ikrar wakaf telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang diwakafkan sehingga tanah yang diwakafkan tersebut tidak dapat diminta kembali.
Selanjutnya mengenai dikuasainya tanah wakaf oleh Nadzir secara turun temurun dan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ikrar wakaf, hal ini dikarekan kurangnya pengawasan dari instansi yang terkait. Ahli waris atau keturunan Nadzir beranggapan bahwa tanah tersebut milik Nadzir sehingga penggunaannya bebas sesuai kepentingan mereka sendiri. Hal ini akibat ketidaktahuan ahli waris Nadzir.
Struktur yang menjalankan hokum wakaf adalah (a)pemerintah/menteri agama, (b) waqif, (c) nazhir,(d) pejabat pembuat akta ikrar wakaf, (e) lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang dan (f) badan wakaf Indonesi
a. Menteri agama dianggap telah melanggar hokum wakaf apabila: tidak membina serta mengawasi penyelenggaraan wakaf, tidak mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan wakaf, dan atau tidak memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan wakaf
b. Nazhir dianggap telah melanggar hokum wakaf apabila: tidak mengadministrasikan rta benda wakaf, tidak mengelola dan mengembangkan haarta wakaf sesuai dengan fungsinya, tidak mengawasi dan melindungi harta wakaf, tidak melaporkan pelaksanaan tugasnyakepada Badan Wakaf Indonesia, mengubah pendayagunaan harta wakaf tanpa izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia, dan atau mengubah status harta wakaf tanpa mendapat izin dari Badan Wakaf Indonesia.
c. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dianggap melanggar apabila: tidak menuangkan ikrar wakaf dalam Akta Ikrar Wakaf, membuat akta ikrar tapi tidak memuat hal-hal yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan atau tida meniliti kelengakapan persyaratan administrasi wakaf serta keadaan fisik obyek wakaf.
d. Lembaga Keuangan Syariah penerima wakaf Uang dianggap melanggar apabila: tidak menerbitkan dan atau tidak menyampaikan sertifikasi wakaf uang kepada wakif dan nazhir, tidak mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri Agam, atau mendaftarkan tapi lebih dari tujuh hari terhitung sejak sertifikasi wakaf uang diterbitkan, dan atau tidak memberikan tembusan kepada Badan Wakaf Indonesia atas pendaftaran wakaf uang yang disampaikan oleh menteri Agama.
e. Badan Wakaf Indonesia dianggap telah melanggar hukum wakaf jika: tidak membina nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf, tidak mengelola harta wakaf yang berskala nasional dan internasional, tidak mempertimbangkan secara baik dalam memberikan keputusan usulan perubahan peruntukan wakaf dan statusnya, dan atau tidak memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan dibidang perwakafan.
Karena potensi-potensi pelanggaran tersebut, sangat wajar jika dalam peraturan perundang-undangan tentang wakaf diatur mengenai berbagai pelanggaran dan sanksiny, termasuk sanksi pidana.
Mendasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir.
Contoh pelanggaran sengketa tanah kuburan di Jakarta
Awalnya, HS telah mewakafkan tanah untuk makam keluarga. Karena penduduk setempat semakin bertambah, tanah tersebut tidak hanya digunakan untuk makam keluarga, tapi juga untuk makam penduduk setempat. Setelah meninggal, tanah tersebut dikelola oleh RY (anak HS). Menurut pengakuan RY, tanah tersebut adalah tanah warisan dari ayahnya, bukan tanahwakaf. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan bukti kepemilikan barupa girik/letterC.Nomor 5941 persil 13 Blok D II atas nama bersangkutan
Setelah melakukan pemeriksaan, pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta menetapkan bahwa: (a) membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta selatan Nomor 311/pdt.G/2006/PA.JS tanggal 16 Oktober 2006, (b) menyatakan bahwa tanah pemekaman Kebelan Jaksel seluas 4776 M2 adalah tanah wakaf yang berfungsi sebagai makam/kuburan, (c) memerintahkan kepada pembanding untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut ke kantor urusan Agama (KUA) kecamatan setempat selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW)
Dari peritiwa diatas kasus sengketa wakaf yang diteliti memperlihatkan bahwa: (a) Administrasi wakaf belum dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan, terutama aspek pencatatan atau pendaftarannya (b) penukaran tanah wakaf berpotensi menimbulkan masalah kedepan jika tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
2. Cara Penyelesaiannya Dalam Hal Terjadi Sengketa Wakaf
Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila penyelesaian sengketa melalui musyawarah tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan. Selanjutnya disebutkan dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang disepakati oleh pihak yang bersengketa. Dalam hal mediasi tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa kepada badan arbitrase syariah. Dalam hal badan arbitrase syariah tidak berhasil menyelesaikan sengketa, maka sengketa tersebut dapat dibawa ke pengadilan agama dan/atau mahkamah syariah.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyebutkan “Pengadilan Agama bertugas dan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam




BAB III
KESIMPULAN
Dari apa yang telah di kemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum tertampungnya pengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti dengan pembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan tanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir.
2. Dalam hal terjadi sengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama adalah melalui upaya musyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan belum menemukan titik temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.

Share

0 komentar:

Posting Komentar

kasih comment biar saya bisa berkreasi trus

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More